Jilid 42
"Lauw Bok telah dapatkan bukan sedikit murid-murid perempuan yang cantik molek!" katanya, ia gunai kata-kata "Lauw Bok" atau "Bok si tua" kepada Bok Jin Ceng. "Sungguh dia sangat beruntung! Eh, mari kamu bertiga, mari datang dekat kepadaku sini, untuk aku lihat."
Semua orang terperanjat itu ada kata-kata tidak sopan. "Kau siapa?" tanya Sun Tiong Kun yang keras tabiatnya.
Si imam tertawa, "Sudahlah!" katanya, "Mari kamu turut toya pulang, nanti dengan perlahan-lahan toya beri keterangan kepada kamu..."
Sun Tiong Kun jadi makin gusar. Nyata imam ini ceriwis sekali, "Kau makhluk apa berani kurang ajar di sini!" ia bentak sambil ia maju setindak.
Masih imam itu tertawa, malah sekarang ia tertawa haha hihi, ia pun angkat sebelah tangannya, untuk dibawa ke muka Tiong Kun, guna usap pipi orang, setelah mana, ia bawa pula tangannya itu ke arah hidungnya untuk diciumi, "Sungguh harum!" katanya pula, terus sambil tertawa.
Dalam murkanya yang meluap, Sun Tiong Kun menikam dengan sebilah gaetannya.
Si imam cuma geraki sedikit tangan atau tahu-tahu ia sudah cekal tangannya si Nona Sun, terpencet, hingga habis segera tenaga nona itu, seluruh tubuhnya jadi lemas.
Secara sangat cepat dan gampang imam itu sudah lantas rangkul Tiong Kun muka siapa ia pun cium.
"Sungguh tidak jelek nona kecil ini!" katanya pula.
Phang Lian Tek, Bwee Kiam Hoo dan Lauw Pwee Seng jadi sangat kaget berbareng sangat gusar, dengan serentak mereka maju untuk menerjang.
Si imam menjejak dengan kedua kakinya, sekejap saja ia sudah lompat mundur beberapa tindak, dengan tangan kirinya, ia masih peluki Tiong Kun. Ia bawa orang gerakannya toh gesit dan enteng.
Menampak gerakan ini, kecuali persaudaraan Phang dan lainnya, Ciu Cun semua terperanjat. Mereka lantas insyaf, imam ini sangat lihay. Mereka tergugu. Tahulah mereka, mereka bukan tandingan si imam. Akan tetapi, Sun Tiong Kun masih dipeluki orang, nona itu tidak mampu berontak, pasti sekali tak dapat mereka peluk tangan saja. Maka dengan terpaksa mereka maju.
Imam itu tersenyum, tangan kanannya bergerak. Cepat luar biasa, orang segera lihat suatu benda berkilau, angin mendesir dingin. Tahu-tahu si imam sudah hunus pedangnya yang tadi tergendol di bebokongnya.
Bu-eng-cu Bwee Kiam Hoo si Tak Ada Bayangannya, bertubuh paling gesit di antara saudara-saudara seperguruannya, ia pun paling menyayangi Sun Tiong Kun, tidak heran kalau dialah yang lompat paling depan. Akan tetapi, kapan ia telah saksikan pedang si imam, tidak berani ia bentur pedang itu, yang mesti ada pedang mustika. Maka ketika tiga kali ia mendesak, setiap kalinya ditangkis, ia egos pedangnya, ia menyerang hanya lempat-lempat kosong.
Menghadapi pedang mustika, Kiam Hoo sudah punyakan sedikit pengalaman ialah ketika di Lamkhia ia tempur Wan Sin Cie, beberapa tebasan pedangnya paman guru cilik itu membuat pedangnya sendiri kutung, hingga karenanya, ia insyaf kepandaiannya masih jauh belum sempurna, dari itu belakang ia minta gurunya ajarkan dia terlebih jauh ilmu pedang. Selama setengah tahun. Tidak pernah ia keluar dari pintu pekarangan, karenanya ia telah peroleh kemajuan pesat. Demikian sekarang ia bisa berkelahi dengan baik.
"Tidak jelek!" memuji si imam apabila ia telah saksikan serangan orang berulang-ulang.
Memang tiga serangan saling susul itu ada serangan-serangan Kiam Hoo yang paling berbahaya dan telengas.
Akan tetapi pujian si imam belum habis diucapkan atau dengan tiba-tiba pedang penyerangnya telah kutung menjadi dua, atas mana, Kiam Hoo kaget tidak terkira.
Menurut kebiasaan di kalangan ilmu silat, siapa pedangnya terbabat kutung ia mesti timpuk lawannya dengan ujung pedang, habis itu ia mesti lekas lompat mundur, akan berdaya terlebih jauh guna lawan musuh, Kiam Hoo tidak berbuat demikian, ia khawatir dengan menyambit si imam, nanti Tiong Kun yang dapat celaka. Dari itu ia lantas lompat mundur. Walau demikian kendati ia ada si Tak Ada Bayangannya, meski tubuhnya sangat enteng dan gerakannya gesit sekali, ketika ia berlompat, tidak urung "Sret!" ikat rambut di embun-embunannya telah tersabet putus!
(Bersambung ke Bab 26)
Bab 26
Maka juga ia mundur dengan mandi keringat dingin sebab ia ingat bagaimana besar ada bahaya yang mengancam dia barusan.
Phang Lian Tek, Lauw pwee Seng dan Ciu Cun lantas mengepung dengan dibantu Put Po dan Put Cui serta muridnya Oey Cin yang keempat dan keenam. Mereka baru bergebrak, si imam baru geraki pedangnya lantas terdengar suara senjata beradu dan putus, malah ada juga orang yang rubuh karena dupakan, hingga sebentar saja tinggal Phang Lian Tek dan Lauw Pwee Seng yang masih sanggup melayani terus, karena mereka ini bisa kelit senjata mereka dari sesuatu tebasan.
Setelah itu, dengan jumput sebatang pedang yang menggeletak di tanah, Bwee Kiam Hoo maju pula untuk bantu saudara-saudaranya. Akan tetapi, walau mereka kosen, mereka tidak bisa berbuat apa-apa terhadap imam tidak dikenal itu. Lekas sekali mereka kena terdesak.
Sekonyong-konyong saja si imam lemparkan pedangnya ke udara.
Melihat ini Lauw pwee Seng terperanjat dan kaget, tidak tahu ia, si imam hendak gunai ilmu siluman apa.
Kiam Hoo pun kaget tetapi ia masih sempat berseru. "Awas." Hanya ia telah terlambat, karena segera terdengar satu suara membeleduk, dadanya Pwee Seng kena kepalan si imam sampai dia mundur terjengkang rubuh numprah di tanah.
Si imam tertawa berkakakan.
"Kau andali kepandaianmu yang tinggi jikalau aku gunai pedang untuk lukai padamu, tentu kau tidak puas!" demikian katanya,
Sambil berkata demikian, imam ini tanggapi pedangnya yang turun jatuh menyusul mana kembali dia babat kutung pedangnya Bwee Kiam Hoo, sedang dengan sikut kanannya itu, ia bentur iga kiri dari Lian Tek, hingga dia ini merasakan sangat sakit, matanya sampai kabur!
Sampai di situ, tidak ada lagi murid-murid Hoa San Pay yang berani maju pula, menampak mana, si imam tertawa berkakakan.
"Lauw Bok agulkan ilmu pedangnya tidak ada tandingannya di kolong langit ini ternyata murid-murid yang ia didik semua tidak punya guna sebagai mereka ini!" ia mengejek. "Nah, kalau sebentar couwsu kamu menanyakannya bilanglah bahwa Giok Cin Cu telah datang berkunjung kepadanya! Kamu bilang juga, sebab couwsu kamu jelek pengajarannya terhadap murid-muridnya sekarang aku hendak bawa pergi ketiga murid perempuannya ini, untuk aku yang didik terlebih jauh nanti tiga tahun kemudian, sesudah bosan aku memberi pengajaran kepada mereka, baru aku akan antar mereka pulang kepada couwsu kamu itu."
Sementara itu Ho Tek Siu si cerdik telah insyaf keadaan yang sangat berbahaya itu, ia insyaf lihaynya si imam, ia bisa terka maksud jahat orang, maka di sebelah memikiri daya untuk singkirkan diri, ia kata pada Seng Hay, "Lekas undang suhu."
Benar dugaan Ho Kauwcu, baru saja Seng Hay memutar tubuh, untuk lari pergi, si imam sudah bertindak ke arah dia. Tapi ia sudah berpikir. Maka papaki si imam sambil tertawa.
"Totiang lihay sekali kepandaian kau, Apakah getaran mulia dari Totiang?" demikian ia
memuji seraya menanya.
Heran agaknya si imam melihat orang tertawa, sama sekali tidak nampak tanda-tanda takut. Maka ia lantas awasi Ho Kauwcu, dari atas sampai ke bawah, hingga ia lihat tegas orang punya pipi merah dadu dan kedua kaki putih bersih bagaikan salju. Mukanya ramai pun sungguh menggiurkan hatinya hingga tulang-tulangnya jadi lemas dengan tiba-tiba. Ia pun maju setindak.
"Aku ialah yang dipanggil Giok Cin Cu," sahutnya sambil tertawa, "Kau sendiri, Anak, apa namamu? Kau bilang, kepandaianku lihay, maka mari kau ikut aku pulang dengan perlahan-lahan aku nanti beri pengajaran kepadamu? Kau suka, bukan?"
"Ah, nanti kamu dustakan aku?" Tek Siu tertawa pula dengan manis, "Apa nanti katamu bila kau menyangkal?"
"Eh, siapa dustakan kau?" kata Giok Cin Cu, "Mari ikut aku?"
Kata-kata ini dibarengi dengan uluran tangan, guna pegang lengan orang untuk ditarik.
Ho Tek Siu mundur setindak.
"Tunggu dulu!" katanya sambil tertawa pula, "Aku hendak tunggu guruku, aku mesti tanya dia dahulu, boleh atau tidak aku turut padamu...."
"Hm...!" mengejek si imam, "lkuti terus gurumu...! Apakah faedahnya itu? Tidak lebih tidak kurang, kau cuma punyakan kepandaian seperti gurumu itu? Guru bakul nasi seperti itu tidak perlu kau perdulikan lagi?"
Dan ia tertawa terbahak-bahak.
Tek Siu tidak jadi gusar.
"Kau tahu kepandaian guruku itu lihay," kata dia sambil bersenyum. "Kalau suhu ketahui aku ikut kau, pasti dia tidak akan mau mengerti."
Phang Lian Tek semua jadi sangat berkhawatir berbareng mendongkol. Tidakkah Sun Tiong Kun masih saja dipeluki si imam dan si nona Sun itu tidak berdaya sama sekali? Kenapa perempuan ini yang tidak dikenal, yang mereka anggap mirip siluman, berlaku demikian genit terhadap si imam?
"Hai, Imam busuk!" akhirnya Kiam Hoo berteriak, "Hari ini aku akan adu jiwaku denganmu!"
Dengan bawa pedangnya, Bu Eng Cun bertindak maju.
Giok Cin Cu tidak menoleh untuk bentakan si orang she Bwee.
"Aku nanti kasih lihat pula kepandaianku kepadamu!" kata dia pada Ho Tek Siu, "Nanti kau boleh bandingkan suhumu terlebih lihay daripada aku atau aku yang terlebih lihay daripada suhumu itu!"
Adalah sembari mengucap, ia kelit dari satu tusukan Kiam Hoo, untuk mana, ia cuma melirik, kemudian ia melanjuti berkata kepada si juwita yang boto manis ini. "Ilmu silat semacam yang dipunyakan dia ini, di dalam kalangan Hoa San Pay tentu dianggap sudah luhur sekali! Akan tetapi kalau dia berhadapan dengan aku? Hm! Hm! Coba kau menghitung, mulai dari satu, sampai sepuluh! Dengan sepasang tanganku yang kosong, aku nanti rampas pedangnya!"
Meluap hawa amarah Kiam Hoo karena ia sangat dihinakan, tanpa bilang suatu apa ia menyerang pula dengan sengit dan hebat.
"Tidak perduli aku menghitung cepat sekali, bukankah?" Tek Siu tegasi sambil tertawa. "Baik! Satu! Dua! Tiga! Empat! Lima!"
Dan ia menghitung cepat luar biasa.
"Hai kau licik sekali!" senyum Giok Cin Cu, yang tahu orang menghitung seperti kilat saja, "Tapi kau lihat."
Justru itu, ujung pedangnya Kiam Hoo sedang menyambar pula. Si imam egos tubuhnya minggir, menyusul mana, sebelah tangannya diulur panjang. Entah bagaimana, tahu-tahu dua jari tangannya sudah ada di depan mata Bu Eng Cu.
Kiam Hoo kaget sekali, hingga ia mengegos, cepat sekali, ia menangkis dengan tangan kirinya.
Si imam tarik pulang serangannya, tangannya diputar sedikit, untuk dipakai membentur lengan lawan, atau mana, Kiam Hoo rasai jari-jari tangannya gemetar dan kaku, hingga pedangnya lantas terlepas dari cekalannya, menyusul mana, si imam sambar pedangnya itu.
Selama itu Ho Tek Siu baru menghitung sampai angka "delapan".
Giok Cin Cu tertawa berkakakan, ia terus geser pedang ke tangan kirinya dengan dua jari telunjuk dan tengah, ia pegang ujung pedang itu untuk ditekuk, menyusul mana terdengar suara membeletok, segera ujung pedang patah.
Orang semua kaget sekarang orang lihat, pada lima jari tangannya ada sarung seperti bidal, yang ujungnya tajam sekali. Akan tetapi walau demikian, kekuatan jari-jari tangannya itu langka sekali.
Suara membentak itu segera terdengar saling susul, sebagai kesudahan dari mana, pedang itu kena dibikin patah jadi beberapa potong.
Habis itu, Giok Cin Cu lemparkan gagang pedang berikut ujung pedang yang sudah jadi pendek itu, sembari berbuat demikian, ia keluarkan seruan panjang dan nyaring, dibarengi juga dengan terulurnya tangan kanannya, untuk cekal lengan Tek Siu.
Ho Kauwcu sebenarnya lagi gunai siasat memperayal kejadian guna menunggu waktu, supaya gurunya keburu datang, maka diam-diam ia sibuk juga menampak, sampai begitu jauh, Sin Cie masih belum juga muncul, sekarang ia hendak dicekuk, dalam keadaan terpaksa, ia mesti lindungi diri. Tidak ada jalan lain ia angsurkan tangannya yang kiri untuk diantap kena tercekal si imam.
Giok Cin Cu sudah menduga dia bakal pegang tangan yang putih halus dan empuk, maka bukan kepalang heran dan kagetnya apabila ia rasakan kena pegang barang keras dan dingin sifatnya, hingga sebat bagaikan dipagut ular, ia lepaskan segera cekalannya, ia tarik pulang tangannya berbareng dengan mana, ia awasi tangan si nona. Dan berkelebatlah di depan matanya cahaya kuning emas, yang bagaikan kilat terus menyambar ke arah alisnya! Dan itulah sebuah gaetan emas yang ujungnya lancip dan tajam.
Ho Kauwcu sudah lakukan serangannya secara sangat cepat, ialah begitu lekas si imam lepaskan cekalannya, ia hendak menggurat jidat orang. Giok Cin Cu sangat lihay tetapi hampir saja ia rubuh sebagai korban kelicinan si nona. Syukur untuknya, ia bisa dongakkan kepalanya, hingga ia lolos dari bahaya. Hanya berbareng dengan itu, hidungnya mencium desiran bau harum, bau dari bisa.
Tanpa merasa imam ini keluarkan keringat dingin. Tapi ia tidak sempat melengak saja lagi sekali gaetan emas itu menyambarnya, hingga ia jadi gugup. Ketika itu pedangnya sudah dimasuki ke dalam sarungnya di bebokongnya, sedang tangannya yang kiri masih memeluki tubuhnya SunTiong Kun, ia jadi sangat repot, sebab selagi ia main mundur penyerangnya merangsak, hingga akhir-akhirnya ia lepaskan pukulannya dan tolak tubuhnya Tiong Kun berbareng mana ia mencelat mundur hingga ia jauh pisahkan diri, sedang pedangnya dapat ia hunus dengan segera.
"Ha… ha... haha!" dia tertawa besar. "Aku tidak sangka kau mempunyai kelihayan sebagai ini! Baik, baik, mari kita mencoba-coba!"
Tek Siu insyaf dia sudah menang di atas angin untuk sekejap saja, karena serangannya secara mendadak itu yang diulangi dan diulangi sebat luar biasa, ia juga insyaf, kalau mesti berkelahi sungguhan, ia bukan tandingan imam luar biasa lihay ini. Akan tetapi keadaan sangat mengancam, ia terpaksa mesti melayani juga, ia tetap berlaku tenang, ia terus gunakan otaknya yang lincah.
Maka ia tertawa pula dengan manis.
"Boleh kita main-main tetapi janganlah kau sungguhan!" katanya, "Kita main-main saja, cuma berkelakar...!"
Giok Cin Cu ada seorang ulung, ia sudah lantas curigai nona ini. Dia cantik sekali, gairahnya sangat menarik, akan tetapi orangnya licik, tangan kirinya itu tidak mengenal kasihan. Tapi ia percaya kepandaiannya sendiri, maka ia tidak jeri.
"Baik!" katanya, "Cuma kalau kau kalah, kau mesti turut aku!"
"Baik," jawab Tek Siu. "Lihat gaetan."
Benar saja, kata-kata disusul sama serangan dua tangan berbareng, dua-dua tangan yang merupakan gaetan...
Tidak lagi Giok Cin Gu berani memandang enteng seperti tadi ia layani Kiam Hoo beramai, ia berkelahi dengan hati-hati akan halau suatu tusukan atau gaetan, dengan begitu, mereka berdua jadi bertempur dengan seru.
Bwee Kiam Hoo di lain pihak sedari siang-siang memimpin bangun pada Sun Tiong Kun, kemudian bersama yang lainnya mereka berdiri menonton pertandingan itu, yang katanya ada pertandingan untuk berkelakar, berguyon saja. Kesudahannya, mereka jadi kagum dan tercengang.
Tadi mereka saksikan Tek Siu dengan gampang rubuhkan dua saudara Phang Put Po dan Put Cui, mereka mau anggap itu disebabkan kepandaian dan pengalaman masih terlalu cetek dari engko dan adik itu, akan tetapi sekarang mereka dapat buktikan orang itu sungguh lihay.
Ho Tek Siu berkelahi dengan mengunjuki kelincahannya, tubuhnya tampak sangat enteng, sepasang gaetannya menyambar-nyambar hingga mirip dengan berkelebatnya cahaya kuning emas saja. Sebab ia musti keluarkan antero kepandaiannya untuk bisa layani imam yang sangat lihay itu. Setelah kagum, Kiam Hoo semua ingat tidak dapat mereka diam saja, mesti mereka bantui si nona, yang sekarang nyata ada di pihaknya. Akan tetapi meski juga mereka mempunyai ingatan untuk membantu, mereka tidak dapat wujudkan itu, si nona dan imam bertempur dengan seru, pedang dan gaetan rapat sekali, hingga tidak ada lowongan buat mereka maju menyelak. Mereka juga insyaf, kepandaian mereka masih beda terlalu jauh untuk dibandingi dengan kedua orang yang asyik bertanding sambil berkelakar itu....
Pertandingan berjalan terus dengan keseruannya tak jadi berkurang. Adalah selang tidak lama, suara nyaring terdengar lantas kelihatan gaetan emas dari si nona kena ditabas putus pedang mustika dari si imam, menyusul mana, Tek Siu kibaskan sebelah tangannya, lantas serupa senjata rahasia menyambar ke arah si imam, setelah perdengarkan satu suara, senjata itu buyar bagaimana asap merah dadu yang bersinar, hingga berpetalah roman cantik dari si nona.
Menyusul sambaran senjata rahasia yang luar biasa itu, Giok Cin Ciu mencelat mundur sambil berseru, "Hai! Kau dari Ngo Tok Kauw? Kenapa kau bercampur-baur di sini?"
Selagi Giok Cin Cu menegur dalam keheranan itu, Cio Cun berdua Put Cui rubuh dengan tiba-tiba sebab mendadak saja mereka merasa kepala pusing dan mata kabur. Sebab siuran bisa dari Tek Siu mengenai mereka, yang berada di bawah angin.
Ho Kauwcu sendiri hadapi si imam sambil tertawa.
"Sekarang ini aku telah ubah penghidupanku dari sesat aku pindah ke prikebenaran!" sahutnya. "Aku telah memasuki kaum Hoa San Pay. Maka kau juga baiklah keluar dari jalanmu yang sesat."
Giok Cin Cu menyampok ke kiri dan ke kanan, angin dari sampokannya itu telah menghalau baunya bisa setelah mana tanpa bilang suatu apa ia lompat maju seraya sebelah tangannya menyerang.
Serangan tangan itu mendatangkan suara angin, gerakan tubuh si imam juga mirip dengan "Pay-san-to-hay" ialah gerakan dari rubuhnya gunung untuk menguruk lautan.
Tek Siu cuma tahu Giok Cin Cu lihay ilmu pedangnya, ia tidak tahu, tangannya juga tidak kalah lihay-nya, maka juga ia kaget bukan kepalang kapan ia saksikan serangan musuh ini, sambil menjerit dalam hatinya, ia putar lengannya, dengan itu, ia cabut cambuknya "Kat-bwee-pian" - cambuk "ekor kalajengking" - sambil miringkan tubuhnya, ia sambar lengan lawan untuk dililit.
Giok Cin Cu luas pengetahuannya sekarang pun tahu lawan dari Ngo Tok Kauw, maka ia telah bisa duga cambuk lawan ini juga mesti ada bisanya. Karena ini, ia bisa berlaku waspada, sebenarnya hatinya pun sangat panas, ia berjumawa untuk kepandaiannya, ia tidak sangka, sekarang satu wanita sanggup layani ia untuk banyak jurus, ia anggap wajahnya tidak bercahaya lagi. Karena itu tak mau ia mengantapkannya pula. Kapan cambuk sampai, ia tidak kasih lengannya dililit, sebaliknya dengan dua jari tangannya yang kiri, jari telunjuk dan tengah, ia papaki untuk jemput ujung cambuk dan selagi si nona tak kesampaian niatnya membetot dia, ujung pedangnya sudah menyambar ke arah muka orang. Untuk jepit ujung cambuk, ia tidak jeri, sebab ia pun memakai sarung jari.
Melihat percobaan gagal, Ho Tek Siu terpaksa cepat-cepat lepaskan cambuknya itu untuk menyingkir dari ujung pedang, ia mundur.
"Sudahlah aku menyerah kalah! Suka aku angkat kau jadi guru!" kata dia sambil tertawa, sesudah mana, ia membungkuk untuk berlutut, guna jalankan kehormatan. Giok Cin Cu juga tertawa, ia lemparkan cambuk lawan yang ia kena rampas, akan tetapi berbareng dengan itu, ia tampak suatu sinar hijau berkelebat menyambar ke arahnya hingga ia jadi heran, lekas-lekas ia mengibas dengan ujung bajunya yang gerombongan, tubuhnya sendiri juga mencelat mundur.
Sebagai kesudahan dari kebasaan ujung baju itu, dengan menerbitkan suara, sejumlah jarum halus menyambar ke arah gerombolan rumput di samping mereka.
Nyatalah Ho Kauwcu yang lihay tidak mau menyerah mentah-mentah, ia memberi hormat untuk menyerang dengan senjata rahasia jarum "Ham-see-shia-eng" atau "Genggam Pasir Memanah Bayangan".
Itulah senjata rahasia yang sangat lihay, siapa tahu Giok Cin Cu lihay luar biasa, walaupun dibokong senjata demikian, masih ia bisa menangkis, menghindari diri dari malapetaka. Tentu saja ia jadi penasaran karenanya, maka setelah jarum-jarum tidak lagi menyerang padanya, ia lompat maju guna melakukan pembalasan. Tubuhnya mencelat bagaikan garuda menyambar.
Selama pertempuran hebat itu, A Kiu terus menonton dari pinggiran ia memasang mata tajam sekali, sebenarnya keras niatnya untuk membantui Tek Siu, ia berkhawatir untuk itu kawan yang menghadapi musuh yang lihay ini, akan tetapi tak dapat ia memberikan bantuannya sebab ia terhalang oleh luka lengannya, sekarang ia lihat serangan hebat itu, ia pun tampak air muka berubah dari Tek Siu, terpaksa ia serang si imam dengan piauw bambu Ceng-tiok-piauw, menyusul mana ia serukan kawannya, "Sambuti!"
Itulah pedang mustika Kim-coa-kiam, yang putrinya kaisar Cong Ceng lemparkan kepada pemimpin Ngo Tok Kauw.
Giok Cin Cu tidak kena dicelakai oleh senjata rahasia A Kiu, dengan satu kibasan ia bisa singkirkan bahaya. Tapi karena ini, serangannya jadi gagal.
Ho Tek Siu sendiri, setelah berkelit dari serangan berbahaya itu sudah terus berlompat akan sambar pedang yang dilemparkan A Kiu kepadanya, dengan punyakan senjata mustika ini, ia mendahului menyerang pula kepada musuh, sedang dengan piauw ia cegah lawan dului mendesak padanya.
Kembali keduanya bertempur.
Sibuk juga Giok Cin Cu sebab desakan si nona, maka dengan tangan kiri ia cabut kebutan hudtimnya, akan dengan bantuan senjata ini bisa lawan musuh itu.
Sesudah bertarung pula beberapa jurus, kembali Tek Siu kena terdesak. Gaetan atau tangan kirinya ada lihay tidak demikian tangan kanannya, meski juga ia mencekal pedang mustika, sebabnya ini adalah pedang bukannya senjata pegangannya hingga tidak leluasa ia menggunainya.
Melihat si nona terancam bahaya, Pwee Seng beramai paksa juga maju lagi tetapi ketika ia disampok hudtim pada pundaknya ia merasakan sakit sampai ke tulang-tulangnya, sebab kebutan itu bukan terbuat dari bulu hanya dari kawat emas halus. Coba dia bukannya telah cukup tinggi ilmu silatnya pasti ia sudah rubuh karenanya.
Melihat keadaan itu, Bwee Kiam Ho teriaki Sun Tiong kun. "Lekas undang suhu dan subo, supeh dan susiok!"
Tiong Kun insyaf pada ancaman bahaya, ia lantas putar tubuhnya untuk lari ke gua tetapi begitu lekas ia putar tubuh, ia pun berteriak dengan kegirangan "To-tiang! Lekas! Lekas!"
Orang lagi berkelahi tidak ada yang sempat akan menoleh, hanya menyusul teriakannya Nona Sun itu, segera terdengar suara yang keras dan nyaring.
"Bagus! Kiranya kau yang datang kemari!"
Giok Cin Cu menyampok beberapa kali untuk mundurkan musuh, habis itu ia lompat mundur untuk mengawasi ke arah dari mana datangnya suara keras yang berpengaruh itu.
"Hai, Suko! Kiranya kau! Adakah kau banyak baik!" demikian suaranya yang dingin, yang sifatnya mengejek.
Sekarang semua orang dapat menoleh, maka mereka lihat itulah Bhok Siang Tojin yang baru sampai, imam ini mencekal papan catur berikuf dua kotak bijinya, dia berdiri di belakang rombongan murid Hoa San Pay itu. Semua orang berhati lega, karena mereka tahu, imam ini sama lihaynya dengan couwsu mereka. Dia adalah sahabat couwsu mereka. Tapi mereka dibikin tercengang kapan mereka dengar si imam lihay, lawan mereka memanggil suko - kanda seperguruan - kepada Bhok Siang Tojin.
Semua mereka jadi tercengang,
"Mau apa kau datang kemari?" Bhok Siang tanya dengan tenang.
Giok Cin Cu tertawa. Dari sikapnya itu, tidak saja ia tidak menghormat suheng itu, dia pun nampaknya tidak jeri sama sekali. Malah kepada suheng itu, ia tidak memberi hormat.
"Kau tentu datang kemari untuk main catur, aku sebaliknya untuk bekuk orang!" demikian ada jawabnya, yang pendek dan dingin. Terus saja ia tunjuk Ang Nio Cu yang diam saja sejak tadi, kemudian menunjuk Tiong Kun bertiga, ia tambahkan, "Dan sekalian untuk terima tiga murid wanita."
Bhok Siang Tojin kerutkan alis.
"Sudah lewat beberapa puluh tahun, apa tetap kau tidak dapat ubah perangaimu?!" katanya, "Hayo lekas kau berlalu dari gunung ini!"
"Hm!" begitu suara sang sutee, "Dulu juga suhu tidak dapat urus aku, sekarang aku justru memusingkan kau, Suko!"
Bhong Siang Tojin tidak gubris ejekan itu.
"Coba kau pikir-pikir sendiri," katanya pula dengan sabar, "Selama tahun-tahun yang belakangan ini, sudah berapa banyak perbuatan buruk dan kejam yang kau lakukan, sebenarnya sudah sekian lama aku niat pergi ke Sinkiang untuk cari kau."
Giok Cin Cu tertawa untuk kesekian kalinya.
"ltulah bagus!" katanya secara menantang, "Memang kita berdua saudara sudah lama sekali tidak pernah bertemu satu dengan lain...."
"Dan hari ini adalah nasehatku yang paling akhir," Bhok Siang bilang, dengan kesabarannya yang luar biasa akan tetapi suaranya keren, "Jikalau kau tetap berbuat jahat dan tidak ubah itu, jangan kau sesalkan yang suhengmu tidak kenal kasihan lagi!"
Masih saja Giok Cin Cu, sang adik seperguruan tertawa dingin, sikapnya sangat menantang.
"Seorang diri dengan sebatang pedangku, aku telah malang melintang di kolong langit ini!" katanya dengan jumawa, "Selama itu, belum pernah aku dengar ada orang yang berani mengucap sepatah saja perkataan kurang ajar terhadapku!"
"Ada sangkutan apakah di antara Hoa San Pay dengan kau maka kau labrak murid-murid orang ini?" Bhok Siang Tojin masih mau menanya, "Jikalau nanti suheng Bok Jin Ceng pulang, apa aku mesti bilang kepadanya?"
Imam itu tertawa dengan ejekannya!
"Sudah buat banyak tahun aku berdiam di Sinkiang!" katanya, "Selama itu siapakah yang tidak tahu bahwa aku telah bikin putus persaudaraan denganmu? Kau sebut-sebut Bok Jin Ceng. Hm. Lain orang boleh jeri terhadapnya, tetapi aku Giok Cin Cu, tidak. Aku berani mendaki Gunung Hoa San ini, itu artinya aku tidak taruh di hati satu kunyuk tua yang bertangan tujuh dan berkaki delapan!"
Dengan kata-kata "kunyuk" itu, Giok Cin Cu menghina sangat pada Bok Jin Ceng yang seperti diketahui, bergelar "Pat-chiu Sian Wan" atau "Lutung Sakti Tangan Delapan".
Bhok Siang Tojin menghela napas. Dengan segan ia angkat papan caturnya.
"Jikalau tetap tidak dapat dihindarkan pertempuran di antara kita berdua," katanya, "Baiklah terpaksa aku tidak dapat pikirkan pula persaudaraan kita selama tiga puluh tahun dulu. Nah, kau majulah!"
Giok Cin Cu tidak lantas majukan diri untuk sambut tantangan itu, guna tempur sang suheng, sebaliknya ia bersenyum.
"Kau hendak lawan aku bertempur?" katanya. "Hm. Coba lihat, ini apa?"
Ia merogoh ke dalam sakunya, akan kasih keluar sepotong pedang besi yang kecil mungil terus ia angkat itu tinggi-tinggi di atas embun-embunannya.
Bhok Siang Tojin awasi pedang besi itu dengan tajam, selang sekian lama, hingga wajahnya mendadak berubah menjadi pucat, putih seperti kertas.
"Baik, baik," katanya kemudian, "Tidaklah sia-sia kau keram dirimu di Sinkiang untuk banyak tahun, akhirnya kau dapatkan itu..."
Giok Cin Cu tidak menjawab, tidak lagi ia bersenyum atau tertawa, hanya dengan roman bengis, dengan suara angker dia berseru, "Bhok Siang! Kau telah lihat pedang besi dari suhu! Apakah kau masih tidak hendak berlutut?"
Bhok Siang tidak menjawab, dia lantas letaki papan caturnya kemudian dengan cara hormat sekali, ia menjura ke arah Giok Cin Cu, untuk memberi hormat seraya terus ia tekuk lutut.
Semua orang Hoa San Pay berdiri bengong, saking heran sedang tadinya mereka percaya, dengan datangnya imam ini, imam yang jahat itu bakal dapat diberi ajaran. Mereka pun jadi berkhawatir.
Giok Cin Cu sudah lantas angkat tangannya yang kiri ia serangkan itu ke arah Bhok Siang Tojin. Desiran angin keras membarengi serangan itu.
Bhong Siang Tojin tidak menangkis atau berkelit, ia malah berbalik badan dan pasang bebokongnya, ia melainkan kumpulkan ambekannya. Dengan suara keras, sampailah serangannya Giok Cin Cu mengenai dengan jitu, hingga bajunya sang suheng hancur dan beterbangan, tubuhnya bergoyang sedikit, suatu tanda hebatnya serangan walaupun demikian masih ini imam berlutut saja!
Wajahnya Giok Cin Cu menjadi merah padam, rupanya ia malu atau penasaran karena gagalnya serangannya itu. Maka ia ulangi serangannya yang kedua kali. Kali ini ia jadikan pundaknya Bhok Siang sebagai sasaran.
Serangan ini tidak mendatangkan suara sebagai tadi, baju pun tidak sampai sobek, akan tetapi hebatnya bukan buatan, karena itu dilakukan setelah pengerahan khie-kang, apa yang dinamai tenaga ambekan. Maka kali ini tubuhnya Bhok Siang ngusruk ke depan, segera ia muntahkan darah hidup, yang membasahi batu besar di depannya.
Tidak ada perasaan kasihan dalam hatinya Giok Cin Cu, habis serangannya yang dahsyat itu, lagi sekali ia angkat pula tangannya, mengulangi untuk yang ketiga kalinya. Kali ini dia hendak hajar batok kepalanya suheng itu, akan tarik orang punya nyawa.
Orang-orang Hoa San Pay menjadi kaget, lupa pada bahaya, bahwa sang imam lihay luar biasa, mereka keluarkan senjata rahasianya masing-masing, untuk dipakai menyerang tangannya imam itu guna cegah dia turunkan tangan jahat itu yang mirip dengan kipas besi.
Tangguh tangannya si imam, dengan kibasan tangannya itu, ia bikin semua senjata rahasia meluruk jatuh ke tanah, hingga ia sempat angkat pula tangannya.
A Kiu berdiri paling dekat Bhok Sian Tojin, tidak tega ia menampak si imam bakal dibikin celaka secara demikian keji dan kejam, lupa kepada bahaya, ia lompat kepada imam itu untuk peluk rangkul batang leher orang, guna alingi kepalanya dengan tubuhnya sendiri, Tuan putri ini berbuat demikian karena ia tidak lihat lain jalan, walaupun pelbagai senjata rahasia masih tidak menolong.
Giok Cin Cu kaget melihat sikapnya wanita muda itu, hingga ia batal melanjuti penyerangannya, sedang di lain pihak, ia segera dengar suara batuk-batuk di sebelah belakangnya hingga lantas saja ia putar tubuh untuk menoleh.
Orang yang berbatuk-batuk itu ada seorang tua dengan dandanan sebagai seorang sastrawan.
Ho Tek Siu yang lihay juga terkejut tahu-tahu lihat orang tua itu muncul di antara mereka dan lantas berdiri di sampingnya A Kiu. Nyata sekali, orang ini mempunyai ilmu entengkan tubuh yang luar biasa sempurnanya. Ia tidak kenal orang tua ini, ia khawatir tuan putri nanti dibikin celaka, maka untuk menolong ia segera serang orang tua itu.
"Pergi kau!" ia membentak membarengi serangannya itu.
Si orang tua geraki tangannya yang kiri, dengan tiba-tiba saja Tek Siu merasakan dorongan yang keras kepada tubuhnya, tidak ampun lagi, kuda-kudanya gempur, di luar kehendaknya, ia terhuyung beberapa tindak akan akhirnya rubuh numprah di tanah, hingga ia jadi sangat malu, seluruh mukanya berubah menjadi merah. Di lain pihak ketika ia menoleh kepada orang-orang Hoa San Pay, ia dapatkan mereka itu semua maju paykui di depan si sastrawan tua itu.
Cuma Giok Cin Cu dan tiga kawannya yang berdiri tegak.
"Su-couw!" demikian Tek Siu dengar suara orang-orang Hoa San Pay itu. Maka baru sekarang ia menduga kepada Pat-chiu Sian Wan Bok Jin Ceng, hingga ia jadi kaget berbareng khawatir, ia jengah.
"Celaka..." ia mengeluh, ia hendak masuk dalam golongan Hoa San Pay di luar tahunya, ia serang couwsu dari partai itu, itu adalah satu perbuatan sangat kurang ajar.
Selagi Giok Cin Cu berdiam, A Kiu telah pimpin bangun pada Bhok Siang Tojin. Imam ini berdiri sambil berpegangan kepada putrinya kaisar Cong Ceng, ia coba jalankan napasnya dengan beraturan. Kendati demikian, ia masih terus mengeluarkan darah sedikit-sedikit dari mulutnya.
Bok Jin Ceng sendiri sudah lantas hadap Giok Cin Cu.
"Totiang, kau tentunya Giok Cin Cu adanya," tanyanya, "Terhadap suheng sendiri kau turunkan tangan begini rupa.... Bagus, bagus! Sekarang, Totiang dengan beberapa potong dari tulang-tulangku yang sudah tua ini suka aku layani kau main-main untuk beberapa jurus!"
Sabar ia nampaknya, setelah sampai sebegitu jauh, Pat Chiu Sian Wan tidak ingin banyak omong pula, langsung ia menantang.
Giok Cin Cu tertawa. Tak berkurang kejumawaannya.
"Inilah juga maksud kedatanganku ke puncak Hoa san ini!" jawabnya secara menantang. "Aku ingin mendapatkan bukti, apakah aku aku si Rase Muka Kumala atau kau si Lutung yang lebih sempurna."
"Rase Muka Kumala" adalah Giok-bin Ho-lie dan dengan si Lutung dimaksudkan Pat-chiu Sian Wan ialah Bok Jin Ceng.
Semua orang Hoa San Pay kaget berbareng girang mendapatkan couwsu mereka hendak tempur imam yang sangat lihay itu, inilah ketikanya untuk mereka saksikan kepandaiannya su-couw itu. Dalam seumur mereka inilah ketika yang paling baik. Tadinya mereka cuma lihat su-couw itu memberi petunjuk-petunjuk saja.
Beda dari yang lain-lain ada Lauw Pwee Seng. Biar bagaimana ia sangsikan umur yang sudah lanjut sekali dari su-couw itu, sedang Giok Cin Cu sedang tangguhnya. Maka itu dia lantas kabur ke dalam gua, dengan niat panggil suhu dan subonya. Tatkala ia sampai di dalam, di kamar batu, ia dapatkan Sin Cie dengan air mata berlinang-linang dan romannya kucel sedang berdiri di depan pembaringan, di sana ia pun lihat supehnya, kedua guru dan Ang Seng Hay semua berdiri diam dengan wajah suram. Malah subonya pun mengucurkan air mata. Maka ia kaget tidak terkira.
Rebah di antara pembaringan adalah Ceng Ceng, mukanya hitam, kedua matanya celong, napasnya tinggal satu kali demi satu, hal inilah yang membikin orang berduka sangat, hingga mereka ini tidak tahu, atau tidak perdulikan, di luar "langit hendak ambruk atau bumi bakalan amblas".
Sesungguhnya, Ceng Ceng lagi menghadapi bahaya maut.
Tapi keadaan di luar sangat mengancam, maka Pwee Seng toh dekati gurunya, akan kasih tahu, "Suhu, imam di luar itu ada sangat lihay, sekarang Su-couw sendiri yang hendak turun tangan untuk melayani dia!"
Sin Cie dengar perkataannya keponakan murid she Lauw itu ia lantas ingat budi kebaikan gurunya, yang rawat dan didik ia sedari ia masih kecil, maka lantas ia ambil putusannya, ia pondong tubuhnya Ceng Ceng kepada Oey Cin dan Kwie Sin Sie suami istri, ia terus berkata, "Mari kita keluar untuk melihat...." Terus ia bertindak cepat, mendahului yang lain.
Pwee Seng lihat paman guru cilik itu memondong orang, gerakannya tidak nampak kesusu, akan tetapi buktinya ia dapatkan orang bertindak sangat pesat, melebihkan cepatnya ia ketika tadi ia lari masuk, maka ia kagum bukan main.
Begitu lekas orang sampai di gunung belakang, pertempuran baru saja hendak dimulai. Bok Jin Ceng sudah berdiri berhadapan sama Giok Cin Cu. Pat-chiu Sian Wan mencekal sebatang pedang panjang, Giok-bin Ho-lie sebaliknya, di sebelahnya pedangnya di tangan kanan, terus cekal kebutannya di tangan kiri. Baru saja mereka selesai memberi hormat satu pada lain.
"Suhu! Suhu!" Sin Cie berseru memanggil-manggil, "Suhu, biarkan teecu saja yang layani dia!"
Teecu" adalah "murid".
Dua-dua Bok Jin Ceng dan Giok Cin Cu seperti tidak dengar teriakan itu, sebab mereka sedang memandang hebat satu pada lain. Sebab dua-dua mengerti, inilah saat runtuh atau berdirinya mereka masing-masing.
Melihat panggilannya tidak dapat jawaban, Sin Cie serahkan Ceng Ceng kepada Ho Tek Siu, baru saja ia kata kepada muridnya itu, "Kau rawat dia!" ataukah ia tampak kebutannya Giok Cin Cu sudah bergerak ke arah pundak kiri dari gurunya, ia menjadi kaget. Ia tahu, satu kali dua orang itu sudah bertempur, sukar untuk nyelak di antara mereka. Tentu saja tidak mau ia ijinkan gurunya itu turun sendiri. Maka tanpa pikir panjang pula, ia enjot kedua kakinya untuk lompat mencelat ke arah Giok Cin Cu, buat menyerang dengan tangan kosong.
Pikirannya Sin Cie ini cocok benar sama pikirannya Oey Cin dan Kwie Sin Sie, maka ketiga suheng dan sutee ini meluruk bersama.
Giok Cin Cu batal menyerang ketika ia tampak ada orang-orang bertempat ke arahnya, ia tarik kebutannya, ia mundur dua tindak, ia baru mundur atau ia rasai ada angin menyambar di atasnya kepalanya, lalu tubuhnya satu orang sampai di arah embunembunannya, ketika ia tarik kuncup batang lehernya, ia rasai sambaran hawa dingin, lalu di luar tahunya, kopiahnya kena dibetot copot.
Itulah perbuatan Sin Cie yang hendak cegah serangannya, karena Oey Cin dan Kwie Sin Sie cuma berlompatan ke depan imam itu.
Bukan kepalang gusarnya si Rase Muka Kumala, ia lantas saja menyerang dengan pedangnya dengan gerakannya "Ling-kian-pauw-sin" atau "Naga Melilit Malaikat Jahat", ujung pedangnya menjurus ke lengan kiri si anak muda. Itulah serangan hebat sekali.
Hampir saja Sin Cie tidak dapat luputkan diri, ujung pedang cuma "menegur" ujung tangan bajunya yang dengan menerbitkan suara keras menjadi terbabat, inilah menandakan bukannya cuma pedang yang tajam juga lweekang dari si imam sudah sangat sempurna.
Kapan tubuh Sin Cie turun ke tanah, bersama dua saudaranya ia sudah"berdiri berbaris di depan gurunya. Semua orang kaget dan kagum dengan gerakan Sin Cie barusan. Hampir saja ia dapat gempur batok kepala Giok Cin Cu siapa sebaliknya hampir tumblaskan ujung pedangnya di iga si anak muda, hanya akhirnya dua-duanya sama-sama tidak kurang suatu apa, cuma yang satu hilang kopiah sucinya yang lain robek tangan bajunya. Coba salah satu terlambat, celakalah dia!
"Bagus!" akhirnya memuji orang di sekeliling mereka.
Giok Cin Cu andalkan betul-betul ilmu silatnya, ia tahu Bok Jin Ceng sangat tersohor, tetapi ia harap orang sudah kurang tenaga dan berkurang kegesitannya disebabkan usia yang lanjut, maka itu ia naksir benar melawan jago dari Hoa San Pay itu. Ia percaya, dengan keuletannya, akhirnya ia akan peroleh kemenangan. Maka siapa sangka ia kena dipermainkan orang, apa pula kapan ia sudah awasi orang itu ada satu bocah mungkin umurnya belum cukup dua puluh tahun. Ia malu mendongkol dan gusar.
"Aku nanti bunuh mampus kau dulu, kunyuk kecil, baru si kunyuk tua!" ia membentak sambil menuding dengan pedangnya kepada anak muda kita.
Sin Cie sambut tantangan itu, itulah memang maksudnya, Tapi ia tetap dapat berlaku tenang.
"Suhu, biarlah teecu dulu yang lawan imam ini," katanya, "Kalau teecu gagal, barulah toa-suheng dan jie-suheng yang menggantikan! Suhu akur?"
"Baik!" jawab sang guru yang benar-benar tidak sudi banyak omong lagi. Ini menandakan kebenciannya kepada Giok Cin Cu yang telengas dan jumawa itu. "Asal kau jangan memandang enteng!"
"Teecu mengerti, Suhu," sahut sang murid.
Dua-dua Oey Cin dan Kwie Sin Sie puas dengan sikapnya sutee cilik ini. Mereka tahu, sutee ini lebih lihay daripada mereka akan tetapi sang sutee suka merendah terhadap mereka. Sungguh sukar dicari bocah yang sabar dan tahu adat sebagai Sin Cie itu. Maka hampir berbareng, suheng yang kesatu dan kedua ini lantas bilang, "Jangan sungkan, Sutee! Kau tidak usah main kasihan-kasihan lagi!"
Juga dua saudara ini gusar sangat pada imam itu.
Giok Cin Cu juga tetap sama kepala besarnya, tidak perduli musuh berjumlah lebih banyak. Begitulah ia jengeki Sin Cie. "Kau inginkan toyamu gunai senjata atau tangan kosong untuk antar kau pulang ke Tanah Barat?"
Selagi pemuda kita belum jawab tantangan atau jengekan si imam itu, Ho Tek Siu serahkan Kim-coa-kiam pada A Kiu kepada siapa ia kata. "Kau serahkan ini padanya!"
A Kiu menurut, ia lantas hampirkan anak muda itu.
Sin Cie terkejut, akan tampak putri itu berada di antara mereka, hingga ia tercengang. Tadinya ia tidak dapat lihat karena ia belum sempat perhatikan semua kawan di sekitarnya.
"Kau... kau..." kata si nona, yang terus saja tak dapat bicara lebih jauh, saking hatinya sedih.
Sin Cie sambuti pedang yang diangsurkan kepadanya, segera ia lompat akan jauhkan diri dari putri raja itu. Ketika itu cuaca ada terang, karena kabut baru saja buyar dan matahari merah perlihatkan diri.
Semua orang Hoa San Pay berkumpul jadi satu, sedang Bok Jin Ceng terus repot uruti Bhok Siang Tojin, guna bisa tolong sembuhkan sahabat karibnya itu.
Oey Cin dan Kwie Sin Sie berdiri di luar kalangan rombongannya, masing-masing siap dengan senjata mereka.
Masih Giok Cin Cu tertawa.
"Umpama kata kamu mau maju berbareng, itu pun boleh!" demikian kejumawaannya. Akan tetapi belum sempat ia tutup mulutnya, mendadak ada bayangan hitam bertempat di depannya, tahu-tahu satu lawannya telah sampai dan ujung pedang menyambar ke arah mukanya. Maka ia lantas mengebut dengan kebutannya sambil pedangnya di tangan kanan hendak dipakai menyerang.
Ia baru bersiap secara demikian, atau pedang lawan sudah ditarik pulang, untuk disusuli dipakai menyerang pula, hingga ia jadi heran. Begitu muda dia ada, lawan ini demikian gesit dan ancamannya sangat membahayakan. Segera ia berkelit ke kiri.
Sin Cie tahu orang berjaga untuk segera menyerang, ia bakal diserang di sebelah kanan, maka ia pun terus berjaga-jaga.
Inilah lihaynya kedua jago yang seperti telah ketahui ke mana mereka bakal saling menyerang. Cuma penonton-penonton yang masih rendah kepandaiannya heran mengapa dua jago ini agaknya berlaku lambat, seperti bukannya lagi menghadapi tegangan. Mereka sama sekali tidak insyaf suasana justru sangat tegang, bahwa keputusan bisa terjadi di sembarang saat.
Sun Tiong Kun sangat benci Giok Cin Cu, melihat sikapnya dua orang itu, ia hendak membokong dengan tusukan gaetannya kepada bebokong si imam ceriwis itu.
Kiam Hoo lihat sikap adik seperguruan ini, ia kaget, ia segera menarik.
"Apa yang kau hendak lakukan? Apakah kau tidak sayangi jiwamu?"
"Jangan perdulikan aku! Aku hendak adu jiwa dengan imam durjana itu!" Tiong Kun membandel.
"lmam itu sudah tahu siauw-susiok lihay," kata Kiam Hoo, "la sekarang lagi gunai dayanya yang paling sempurna untuk lindungi diri, maka kalau kau maju sia-sia kau antarkan jiwa..."
Tiong Kun berontak akan loloskan tangannya dari cekalan suheng itu.
"Jangan perdulikan aku! Aku hendak bantu susiok!" katanya, ia benci susiok itu, si paman guru akan tetapi sekarang menghadapi si imam ceriwis lupa ia kepada rasa bencinya itu.
"Nah, begini saja," Kiam Hong kata kewalahan, "Kau coba dulu dengan senjata rahasia...."
Kali ini Sun Tiong Kun menurut ia siapkan sebatang Kim-cie-piauw dengan sekuat tenaga ia timpuk bebokong Giok Cin Cu.
Si imam sedang berjaga-jaga dari Sin Cie kelihatannya ia tak tahu atas datangnya bokongan maka girang Sun Tiong Kun, yang merasa pasti serangannya akan berhasil. Tapi kapan piauw itu menerbitkan suara nyaring, Kiam Hoo adalah yang berteriak "Celaka!" terus ia tubruk tubuhnya si Nona Sun, untuk dibawa jatuh bersama.
Baru saja si Nona Sun rubuh, atau piauwnya sudah mental balik kepadanya, mengarah dadanya, ia tidak lihat, bagaimana caranya Giok Cin Cu tanggapi piauwnya untuk dipakai menyerang membalas. Kalau ia kena terserang, celakalah ia. Ia memangnya sudah tidak berdaya untuk tangkis atau kelit diri pula. Dalam saat mati hidupnya itu satu bayangan putih berkelebat satu tangan halus menyambar pita merah yang menggelawer di gagang piauw itu!
Hatinya Tiong Kun dan Kiam Ho goncang keras, tapi kapan kemudian mereka kenali penolong mereka ada Ho Tek Siu, mereka bersyukur berbareng malu, sampai untuk menghaturkan terima kasih, mereka cuma manggut-manggut.